Sabtu, 16 April 2011

MAKALAH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING DALAM MENYAMPAIKAN MATERI APRESIASI DRAMA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KURIKULUM 2006 DENGAN MEDIA AUDIO-VISUAL DI SMP NEGERI 1 DRAMAGA

BAB  I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah

Problema yang sering dihadapi oleh guru dalam proses pembelajaran yaitu banyaknya bahan pembelajaran yang harus diajarkan dalam kurikulum 2006 serta waktu yang terbatas.  Selain kendala tersebut, tidak sedikit guru yang menghadapi masalah dalam mengorganisasikan bahan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Sebelum mengajar guru harus mengetahui dan menyediakan ruang lingkup serta urutan bahan pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa (Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, 1987:131)
Itulah sebabnya guru harus membaca, mempelajari, dan menguasai kurikulum, khususnya GBPP bidang studi yang dipegangnya. Uraian yang lebih mendalam setiap konsep dan pokok bahasan ada dalam buku pelajaran (text book), sehingga usaha guru untuk mempelajari buku tersebut sebelum  ia mengajar sangat diperlukan (Sudjana, 1989:22)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian maju serta tata kehidupan masyarakat yang serba kompetitif mengharuskan adanya upaya yang maksimal untuk mampu menyesuaikan diri. Kemampuan menyesuaikan diri bisa  dilakukan dengan baik apabila didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang tinggi. Dalam kerangka inilah peranan guru  ditengah-tengah dunia pendidikan menjadi amat penting.
Guru  sebagai pendidik dapat berfungsi sebagai  Agent  of  Culture,  juga berfungsi selaku  Agent of  change. Dengan demikian guru mempunyai tugas guna melestarikan serta mentranformasikan nilai-nilai kultural kepada generasi muda, serta memberikan perubahan terhadap nilai-nilai kebudayaan ke arah yang lebih baik  dan berkualitas.
Keberhasilan siswa dalam mempelajari suatu materi pembelajaran (subject matter) terletak pada kemampuan mereka (pebelajar) mengelola belajar (management of learning), kondisi belajar (condition of learning), dan membangun struktur kognitifnya pada bangunan pengetahuan awal (prior knowledge), serta mempresentasikannya secara benar (Dr. Made Alit Mariana, 2003 : 2).
Pengelolaan kegiatan pembelajaran dan kondisi belajar seseorang mempengaruhi proses terbentuknya pengetahuan di dalam struktur kognitif peserta didik. Kondisi belajar berkaitan dengan materi topik yang dipelajari (content), dan pengelolaan belajar  berhubungan dengan membangun pengetahuan.
Dewasa ini pengkajian dan pengembangan model serta implementasi pendekatan pembelajaran telah banyak dilakukan. Hal ini bertujuan guna mengungkapkan indikator yang paling dominan dalam mempengaruhi cara belajar siswa lebih bermakna dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Salah satu upaya tersebut dengan menggabungkan pendekatan pemecahan masalah (technological approach), dan pendekatan ilmiah (scientific approach).
Menelaah isi mata pelajaran bahasa Indonesia harus memperhatikan hakikat bahasa dan sastra sebagai sarana komunikasi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan. Dalam hal ini ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek: medengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek itu merupakan aspek yang terintegrasi dalam pembelajaran walaupun dalam penyajian silabus keempat aspek itu masih dapat dipisahkan.
Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan BAB V Standar Kompetensi Lulusan Pasal 25 Ayat (3) dijelaskan  bahwa kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa (termasuk Bahasa Indonesia) menekankan pada kemampuan membaca dan berbicara yang sesuai dengan jenjang pendidikan (BNSP, 2006 : 2).
Pada sisi lain, bahasa Indonesia merupakan sarana komu­ni­kasi dan sastra me­rupakan salah satu hasil budaya yang  menggunakan bahasa sebagai sarana kreativitas. Sementara itu, bahasa dan sastra Indonesia se­harusnya diajarkan kepada sis­wa melalui pendekatan yang  sesuai de­ngan hakikat dan fungsinyaPendekatan pembelajaran bahasa yang mene­kan­kan aspek ki­nerja atau keterampilan berbahasa dan fungsi bahasa adalah pen­dekatan komunikatif, sedangkan pendekatan pembelajaran sastra yang me­ne­kankan apresiasi  sastra adalah pendekatan apresiatif. 
Dalam kehidupan sehari-hari, fungsi utama bahasa adalah sarana komunikasi. Bahasa dipergunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antarpenutur untuk berbagai keperluan dan situasi pemakaian. Untuk itu, orang tidak akan  berpikir tentang sistem bahasa, tetapi berpikir bagaimana menggunakan bahasa ini secara tepat sesuai dengan kontek dan situasi. Jadi, secara pragmatis bahasa lebih merupakan suatu  bentuk kinerja dan performansi daripada sebuah sistem ilmu.
Pandangan tersebut di atas membawa  konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa harus­lah lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembel­ajaran tentang  sistem bahasa.            
Sementara itu, sastra adalah satu bentuk sistem tanda karya seni yang menggunakan media bahasa. Sastra ada untuk dibaca, dinikmati, dan dipahami, serta dimanfaatkan, yang antara lain untuk  mengembangkan wawasan kehidupan.
Pandangan lain menyebutkan bahwa peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi (pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasi dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya) ((Dr. Made Alit Mariana, 2003 : 8).
Menurut Piaget (1970), periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia siswa SMP, merupakan ‘period of formal operation’. Pada usia ini, yang berkembang pada siswa adalah kemampuan berpikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkret, bahkan objek yang visual. Siswa telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Implikasinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia  bahwa belajar akan bermakna apabila input (materi pelajaran) sesuai dengan minat dan bakat siswa. Pembelajaran bahasa Indonesia akan berhasil apabila penyusun kegiatan pembelajaran dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input dengan harapan serta karakteristik siswa sehingga motivasi belajar mereka berada pada tingkat maksimal (BNSP, 2006: 3).

Teori lain menyebutkan bahwa  dalam belajar bahasa peserta didik memiliki tahap perkembangan yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli di bawah ini:
Pada tahap perkembangan ini juga berkembang ketujuh kecerdasan dalam Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Gardner (1993), yaitu: (1) kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional), (2) kecerdasan logis-matematis (kemampuan berpikir runtut), (3) kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan irama), (4) kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mental tentang realitas), (5) kecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang halus), (6) kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan jati diri), (7) kecerdasan antarpribadi (kemampuan memahami orang lain). Ketujuh macam kecerdasan ini sesuai dengan karakteristik keilmuan bahasa Indonesia, dan akan dapat berkembang pesat apabila dapat diman­faatkan oleh guru bahasa Indonesia untuk berlatih mengeksplorasi gejala alam, baik gejala kebendaan maupun gejala kejadian/peristiwa guna membangun konsep bahasa Indonesia (BNSP, 2006 : 3).  

         Keberhasilan proses pembelajaran bahasa Indonesia juga ditentukan oleh pemahaman tentang perkembangan aspek afektif siswa. Ranah afektif tersebut mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Bloom (Brown, 2000) memberikan definisi tentang ranah afektif yang terbagi atas lima tataran afektif yang implikasinya dalam siswa SMP lebih kurang sebagai berikut: (1) sadar akan situasi, fenomena, masyarakat, dan objek di sekitar; (2) responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka; (3) bisa menilai; (4) sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada; (5) sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam bentuk sistem nilai.
         Pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan direspons, dan apa yang diyakini serta diapresiasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam teori pemerolehan bahasa kedua seperti halnya bahasa Indonesia. Faktor pribadi yang lebih spesifik dalam tingkah laku siswa yang sangat penting dalam penguasaan berbagai materi pembelajaran, yang meliputi:
a.            Self-esteem, yaitu penghargaan yang diberikan seseorang kepada dirinya sendiri.
b.            Inhibition, yaitu sikap mempertahankan diri atau melindungi ego.
c.            Anxiety (kecemasan), yang meliputi rasa frustrasi, khawatir, tegang, dan sebagainya.
d.     Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan suatu kegiatan.
e.    Risk-taking, yaitu keberanian mengambil resiko.
f.  Empati, yaitu sifat yang berkaitan dengan pelibatan diri individu pada perasaan orang lain. 
Menelaah tujuan pembelajarn berbicara  yang terdapat pada standar kompetensi, pembelajaran berbicara lebih menitik beratkan pada praktek penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan gagasan, emosi, serta amanat dalam bahasa Indonesia secara lisan.
Untuk itu guru harus membimbing siswanya selain memiliki ilmu pengetahuan secara teoritis, juga harus memiliki keterampilan dan pengalaman nyata dalam berkomunikasi. Hal tersebut dapat tercapai melalui proses latihan secara terus menerus dengan berpegang pada pedoman berbicara yang standar.
Kegiatan berbicara dalam pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu cara untuk mengekspresikan suatu maksud dan tujuan siswa melalui media sastra dan non sastra. Untuk mengungkapkan maksud dan tujuan tersebut siswa harus terampil serta luas wawasannya dalam  memilih kosa kata yang relevan.
Untuk itu berhasil tidaknya siswa mencapai tujuan pada indikator pembelajaran berbicara, akan dipengaruhi oleh kemampuan siswa serta kualitas bahan pembelajaran ( Sujana, 1989:40). Artinya siswa yang memiliki perbendaharaan kata yang luas dan memiliki keterampilan berbicara, akan lebih mudah dalam mengungkapkan gagasan serta maksudnya. Begitu juga siswa yang memiliki bakat dan minat dalam berbicara yang baik, kalau tidak didukung oleh kemampuan dalam menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah kebahasaan serta aspek-aspek berbicaranya, tentu hasilnya kurang membanggakan.
Berdasarkan pemaparan di atas, yang menjadi inti permasalahannya yaitu:
 (1)   Bagaimana strategi yang harus dilaksakan oleh guru guna meningkatkan  keterampilan berbicara siswanya?
(2)     Variabel apa saja yang mempengaruhi terhadap hasil keterampilan berbicara siswa?
(3)   Strategi pembelajaran apa yang relevan guna meningkatkan keterampilan siswa dalam berkomunikasi, serta sesuai dengan minat dan karakteristik siswanya?
Untuk itu diperlukan suatu upaya guna menanggulangi kendala tersebut. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui penggunaan model-model, serta media pembelajaran yang betul-betul berorientasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh siswa atau terhadap variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kualitas hasil berbicara siswa yang baik.
Selain itu, melalui pengukuran kemampuan siswa terhadap kompetensi dasar yang dimiliki dalam menguasai pengetahuan secara teoritis dan prektek, diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan di atas. 
Berdasarkan pembahasan di atas, dalam makalah ini akan diuraikan Penggunaan Model Pembelajaran Student Fasilitator and Explaining dalam menyampaikan Meteri Apresiasi Drama pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2006 dengan Media Audio-Visual   SMP Negeri 1 Dramaga Kabupaten Bogor.


1.2.  Rumusan dan Batasan  Masalah
1.2.1.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu :
1.   Bagaimana strategi yang harus dilaksakan oleh guru guna meningkatkan  keterampilan berbicara siswanya?
2.     Variabel apa saja yang mempengaruhi terhadap hasil keterampilan berbicara siswa?
3.   Strategi pembelajaran apa yang relevan guna meningkatkan keterampilan siswa dalam berkomunikasi, serta sesuai dengan minat dan karakteristik siswanya?

1.2.2.  Batasan Masalah
            Ruang lingkup masalah dalam makalah ini yaitu  
         Penggunaan strategi pembelajaran pada Standar Kompetensi berbicara, dan Kompetensi Dasar  Bermain pe­ran dengan cara impro­vi­sasi sesuai de­ngan ke­rangka nas­kah yang di­tulis oleh sis­wa Kelas VIII semester 1

1.3. Tujuan  Makalah
Tujuan dalam makalah ini, yaitu:
1.      Untuk  mendapatkan gambaran kuantitas hasil belajar siswa yang dicapai pada Standar Kompetensi Berbicara,
2.      Guna mendapkan gambaran Model pembelajaran yang relevan untuk menyampaikan materi Apresiasi Drama.
3.      Guna mendapkan gambaran Media pembelajaran yang relevan untuk menyampaikan materi Apresiasi Drama.









BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH
2.1.  Dasar Teoritis
2.1.1.  Menentukan Materi Pembelajaran

   Dalam menentukan materi pokok/pembelajaran harus dipertimbangkan:
a.      relevansi materi pokok dengan SK dan KD;
b.      tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta  didik;
c.   kebermanfaatan bagi peserta didik;
d.   struktur keilmuan;
e.      kedalaman dan keluasan materi;
f.        relevansi dengan kebutuhan peseta didik dan tuntutan lingkungan; dan
g.      alokasi waktu.
Selain itu, harus diperhatikan hal-hal berikut:
a.      kesahihan (validity): materi memang benar-benar teruji kebenaran dan kesahihannya;
b.      tingkat kepentingan (significance): materi yang diajarkan memang benar-benar diperlukan oleh siswa diperlukan oleh siswa;
c.      kebermanfaatan (utility): materi tersebut memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan pada jenjang berikutnya;
d.      layak dipelajari (learnability): materi layak dipelajari baik dari aspek tingkat kesulitan maupun aspek pemanfaatan bahan ajar dan kondisi setempat;
e.      menarik minat (interest): materinya menarik minat siswa dan memotivasinya untuk mempelajari lebih lanjut.

2.1.2.  Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud dapat diwujudkan melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
Kriteria dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran sebagai berikut.
  1.  Kegiatan pembelajaran disusun bertujuan untuk memberikan bantuan kepada para pendidik, khususnya guru agar mereka dapat bekerja dan melaksanakan proses pembelajaran secara profesional sesuai dengan tuntutan kurikulum.
  2. Kegiatan pembelajaran disusun berdasarkan atas satu tuntutan kompetensi dasar secara utuh.
  3. Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa secara berurutan untuk mencapai kompetensi dasar.
  4. Kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered). Guru harus selalu berpikir kegiatan apa yang bisa dilakukan agar siswa memiliki kompetensi yang telah ditetapkan.
  5. Materi  kegiatan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
  6. Perumusan kegiatan pembelajaran harus jelas memuat materi yang harus dikuasai untuk mencapai Kompetensi Dasar.
  7. Penentuan urutan langkah pembelajaran sangat penting artinya bagi KD-KD yang memerlukan prasyarat tertentu.
  8. Pembelajaran  bersifat spiral (terjadi pengulangan-pengulangan pembelajaran materi tertentu).
  9. Rumusan pernyataan dalam Kegiatan Pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan kegiatan pembeljaran siswa, yaitu kegiatan (siswa dan guru) dan objek belajar.
Pemilihan kegiatan pembelajaran mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
a.      memberikan peluang kepada siswa untuk mencari, mengolah, mengelola, dan menemukan sendiri pengetahuan di bawah bimbingan guru;
b.      mencerminkan ciri khas mata pelajaran dalam pengembangan kemampuan peserta didik;
c.      disesuaikan dengan kemampuan siswa, sumber belajar, dan sarana yang tersedia;
d.      bervariasi dengan mengombinasikan kegiatan individu/perorangan, berpasangan, kelompok, dan klasikal; serta
e.      memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual siswa seperti: bakat, minat, kemampuan, latar belakang keluarga, sosial-ekomomi, dan budaya, serta masalah khusus yang dihadapi siswa yang bersangkutan.

2.1.3.  Merumuskan Indikator
Untuk mengembangkan instrumen penilaian, terlebih dahulu diperhatikan indikator.  Oleh karena itu, di dalam penentuan indikator diperlukan kriteria-kriteria berikut ini.
Kriteria indikator sebagai berikut.
a.      Sesuai tingkat perkembangan berpikir siswa.
b.      Berkaitan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
c.      Memperhatikan aspek manfaat dalam kehidupan sehari-hari (life skills).
d.      Harus dapat menunjukkan pencapaian hasil belajar siswa secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotor).
e.      Memperhatikan sumber-sumber belajar yang relevan.
f.        Dapat diukur/dapat dikuantifikasikan/dapat diamati.
g.      Menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur.

2.1.4.  Penilaian
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Di dalam kegiatan penilaian ini terdapat tiga komponen penting, yang meliputi: (a) teknik penilaian, (b) bentuk instrumen, dan (c) contoh instrumen.

2.1.4.1.  Teknik Penilaian
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan untuk menentukan tingkat keberhasilan pencapaian kompetensi yang telah ditentukan.  Adapun yang dimaksud dengan teknik penilaian adalah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh informasi mengenai proses dan produk yang dihasilkan pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik. 
Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam rangka penilaian ini, yang secara garis besar dapat dikategorikan sebagai teknik tes dan teknik nontes.Teknik tes merupakan cara untuk memperoleh informasi melalui pertanyaan yang memerlukan jawaban betul atau salah, sedangkan teknik nontes adalah suatu cara untuk memperoleh informasi melalui pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban betul atau salah.
Dalam melaksanakan penilaian, penyusun silabus perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini.
1)     Pemilihan jenis penilaian harus disertai dengan aspek-aspek yang akan dinilai sehingga memudahkan dalam penyusunan soal.
2)     Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator.
3)     Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan siswa setelah siswa mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
4)     Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan siswa.
5)     Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindakan perbaikan, berupa program remedi. Apabila siswa belum menguasai suatu kompetensi dasar, ia harus mengikuti proses pembelajaran lagi, dan bila telah menguasai kompetensi dasar, ia diberi tugas pengayaan.
6)     Siswa yang telah menguasai semua atau hampir semua kompetensi dasar dapat diberi tugas untuk mempelajari kompetensi dasar berikutnya.
7)     Dalam sistem penilaian berkelanjutan, guru harus membuat kisi-kisi penilaian dan rancangan penilaian secara menyeluruh untuk satu semester dengan menggunakan teknik penilaian yang tepat.
8)     Penilaian dilakukan untuk menyeimbangkan berbagai aspek pembelajaran: kognitif, afektif, dan psikomotor dengan menggunakan berbagai model penilaian, baik  formal maupun nonformal secara berkesinambungan.
9)     Penilaian merupakan suatu proses pengumpulan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip berkelanjutan, bukti-bukti outentik, akurat, dan konsisten sebagai akuntabilitas publik.
10) Penilaian merupakan proses identifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan hasil belajar siswa.
11) Penilaian berorientasi pada Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator. Dengan demikian, hasilnya akan memberikan gambaran mengenai perkembangan pencapaian kompetensi.
12) Penilaian dilakukan secara berkelanjutan (direncanakan dan dilakukan terus menerus) guna mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan penguasaan kompetensi  siswa, baik sebagai efek langsung (main effect) maupun efek pengiring (nurturant effect) dari proses pembelajaran.
13) Sistem penilaian harus disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan, penilaian harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara maupun produk/hasil dengan  melakukan observasi lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan.

2.1.4.2.   Bentuk Instrumen
Bentuk instrumen yang dipilih harus sesuai dengan teknik penilaiannya. Oleh karena itu, bentuk instrumen yang dikembangkan dapat berupa bentuk instrumen yang tergolong teknik:
1)      Tes tulis, dapat berupa tes esai/uraian, pilihan ganda, isian, menjodohkan, dan sebagainya.
2)      Tes lisan, yaitu berbentuk daftar pertanyaan.
3)      Tes unjuk kerja, dapat berupa tes identifikasi, tes simulasi, dan uji petik kerja produk, uji petik kerja prosedur, atau uji petik kerja prosedur dan produk.
4)      Penugasan, seperti tugas proyek atau tugas rumah.
5)      Observasi, yaitu dengan menggunakan lembar observasi.
6)      Wawancara, yaitu dengan menggunakan pedoman wawancara.
7)      Portofolio, dapat menggunakan dokumen pekerjaan, karya, dan atau prestasi siswa.
8)      Penilaian diri dengan menggunakan lembar penilaian diri.

2.2.           Model Pembelajaran Student Fasilitator and Explaining
2.2.1.   Pengertian    
            Model pembelajaran ini yaitu sebuah strategi pembelajaran kontekstual dimana guru di dalam menyampaikan pembelajarannya melibatkan peserta didik  untuk mempresentasikan ide, gagasan pada siswa lainnya.
            Model pembelajaran ini akan relevan apabila siswa secara aktif ikut serta dalam merancang materi pembelajaran yang akan dipresentasikan. Untuk itu pembelajaran pada apresiasi drama akan lebih sesuai dikarenakan siswa secara aktif ikut serta baik itu dalam kegiatan apresiasi maupun bisa berupa ekspresi sastra sebagai pelakunya.

2.2.2. Langkah-langkah Pembelajaran 
1.  Guru secara khusus menyiapkan bahan pembelajaran apresiasi drama.
2.     Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
            3.     Guru membahas prosedur kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa,
           4.     Guru membagi siswa secara berkelompok antara empat sampai lima orang,
          5.     Guru memutar VCD yang berisi pementasan Drama yang diperankan oleh siswa,
          6.     Siswa secara berkelompok mengapresiasi unsur-unsur drama yang ditontonnya,
          7.      Guru menyimpulkan ide, pendapat, siswa dari hasil diskusi
          8.      Penutup.

2.3.  Prosedur Rincian Kegiatan
2.3.1. Tahap Persiapan
1.  Guru bersama siswa membuat kelompok kecil untuk menyusun sebuah naskah drama yang akan dipentaskan.
2.    Guru bersama siswa mendokumentasikan pementasan drama dalam bentuk VCD.
3.   Guru menyiapkan media Audio-Visual untuk kegiatan pembelajaran Apresiasi Drama.
2.3.2.  Tahap Pelaksanaan
 1.  Guru membawa siswa keruang audio-visual
2.  Guru membagikan format observasi dan uji petik kerja prosedur secara berkelompok,
3.    Guru memutar VCD pementasan drama yang diperankan oleh siswa untuk dievaluasi,
4. Guru bersama siswa berdiskusi tentang unsur-unsur drama guna mengapresiasi karakter serta isi cerita yang dipentaskan oleh temannya.
5.    Guru mengumpulkan hasil kerja siswa untuk dianalisis,
6.    Guru bersama-sama siswa menyusun sebuah kesimpulan.
















BAB III
PENUTUP
            Demikianlah makalah dan kondisi objektif mengenai permasalahan pengembangan pembelajaran. Semoga apa yang telah dikemukakan di atas menjadi bahan untuk peningkatan proses pembelajaran yang lebih berkualitas.
            Tidak ada yang kami harapkan, selain dorongan dan kerjasama yang baik dari pihak-pihak yang terkait, sehingga harapan akan adanya suatu pendidikan yang berorientasi kepada mutu dapat terealisir.
            Akhirnya apa yang kita perjuangkan bersama menjadi amal salih yang diterima oleh Allah SWT. serta  mendapatkan pembalasan yang setimpal.  Amin yaa rabbal alamin.

Pola Pokir Masyarakat Terhadap Pendidikan


BAB III
PEMBAHASAN


3.1. Relevansi Pendidikan Terhadap Pola Pikir Masyarakat
3.1.1. Pola Pikir Masyarakat di Tinjau dari Strata Sosial
1. Pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial.
 Pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
2. Masyarakat  masih memandang Peranan Pendidikan masih berupa Mitos
Pendidikan diselenggarakan guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Kenyataan dilapangan menunjukan bahwa kualitas hasil lulusan pendidikan dalam menunjang pembangunan bagi sebagian masyarakat masih berupa angan-angan. Hasil pendidikan yang mereka peroleh kadang tidak sesuai dengan harapan.

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.  John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
3.  Pada Masyarakat Pedesaan atau strata sosial yang masih rendah,  Pola Pikir  terhadap pendidikan baru pada paradigma fungsional;
Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern.. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan.
4.  Pada Masyarakat Perkotaan dan strata sosial yang sudah tinggi,  Pola Pikir  terhadap pendidikan sudah pada paradigma fungsional dan faradigma sosial;
Paradigma Sosial,  melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara umum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosial ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan. Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. (a)  telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Mereka melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.

3.1.2. Pola Pikir Masyarakat di Tinjau dari Proses Penyelenggaraan Pendidikan
Sebagian masyarakat terutama pada strata sosial yang masih rendah memandang bahwa sekolah sebagai Proses Produksi.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produk yang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.

3.2. Pola Pikir Elit Masyarakat sebagai pemangku kebijakan Pendidikan
1.   Para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan
Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan diuji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).

Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

2.   Para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai Sistemik-Organik.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)  Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching),
 2)  Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
3)  Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan,
4)  Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.
Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi  untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat

MAKALAH RELEVANSI PENDIDIKAN DENGAN CARA BERPIKIR MASYARAKAT


BABII
LANDASAN TEORI

2.1.  Pengertian Strata Sosial
 Strata Sosial, yaitu pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat/hirarkis. (Pitirin A. Sorokin, dalam Soerjono Soekanto.Sosiologi suatu pengantar.1990:252).
A. Jenis-Jenis Status Sosial
1. Ascribed Status
Ascribed status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya.
2. Achieved Status
Achieved status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh achieved status yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll.
3. Assigned Status
Assigned status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.
2.2. Jenis-Jenis Stratifikasi Sosial
1. Stratifikasi Sosial Tertutup
Stratifikasi tertutup adalah stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah. Contoh stratifikasi sosial tertutup yaitu seperti sistem kasta di India dan Bali serta di Jawa ada golongan darah biru dan golongan rakyat biasa. Tidak mungkin anak keturunan orang biasa seperti petani miskin bisa menjadi keturunan ningrat atau bangsawan darah biru.
2. Stratifikasi Sosial Terbuka
Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain.
Misalnya seperti tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran / penghasilan yang tinggi.
Ada banyak dimensi yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan stratifikasi sosial yang ada dalam suatu kelompok sosial atau komunitas (Svalastoga, 1989), misalnya: dimensi pemilikan kekayaan (diteorikan Koentjaraningrat), sehingga ada strata wong sugih dan wong cilik. Awalnya, di-mensi ini digunakan untuk melakukan identifikasi pada masyarakat Jawa, maka yang disebut pemilikan kekayaan akan ter-fokus pada simbol-simbol ekonomi yang lazim dihargai masyarakat Jawa. Misalnya, pemilikan tanah (rumah, pekarangan atau sawah).
Dimensi distribusi sumber daya diteorikan oleh Gerhard Lensky, di mana ada strata tuan tanah, strata petani bebas, strata pedagang, strata pegawai, strata petani, strata pengrajin, strata pengangguran, dan strata pengemis. Dimensi ini pada awalnya diberlakukan pada masyarakat pra-industri di mana sistem stratifikasi sosialnya belum sekompleks masyarakat industri.
Ada tujuh dimensi stratifikasi sosial (diteorikan Bernard Baber), yaitu:
(1) occupational prestige, (2) authority and power ranking, (3) income or wealth, (4) educational and knowledge, (5) religious and ritual purity, (6) kinship, (7) ethnis group, and local community. Ketujuh dimensi ini, baik secara terpisah maupun bersama-sama, akan bisa membantu dalam mendeskripsikan bagaimana susunan stratifikasi sosial suatu kelompok sosial (komunitas) dan faktor yang menjadi dasar terbentuknya stratifikasi sosial tersebut.
Samuel Huntington mengemukakan bahwa ada dimensi modernisasi untuk menjelaskan stratifikasi sosial, yaitu: strata sosial (baru) yang mampu merealisasi aspirasinya ( the new have) dan strata sosial yang tidak mampu merealisasi aspirasinya atau mereka kalah dalam memperebutkan posisi strata dalam komunitasnya (the looser). Dimensi ini lebih terfokus pada stratifikasi sosial yang pembentukannya didasarkan pada berbagai simbol gaya hidup. Teorisasi Huntington ini dalam beberapa hal berhimpitan dengan teori Leisure Class-nya dari Thorstein Veblen (Beteille, 1977).

MAKALAH RELEVANSI PENDIDIKAN DENGAN CARA BERPIKIR MASYARAKAT


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Istilah pendidikan bagi masyarakat pada saat ini bukan merupakan sesuatu yang asing. Berkat kemajuan teknologi informasi tingkatan pendidikan formal mulai dari playgroup hingga jenjang perguruan tinggi sudah sering terdengar ditelinga mereka. Selain dari pendidikan formal, pendidikan informal seperti modeling, teater, sekolah sepak bola, juga mulai menjamur di masyarakat. Keanekaragaman pendidikan ditawarkan kepada masyarakat, tinggal mana yang tepat untuk masa depan anak-anaknya.
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah  masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, c) ketimpangan kualitas pendidikan antar penduduk kaya dan penduduk miskin.
Ketimpangan kualitas pendidikan tersebut mengakibatkan cara pandang masyarakat terhadap dunia pendidikan menjadi berbeda pula. Pola pikir akan pendidikan antara masyarakat perkotaan dengan pegunungan jelas berbeda. Hal ini diperkuat dengan kondisi geografis antar keduanya. Di perkotaan yang cenderung berada di dataran rendah sedangkan pegunungan umumnya di daerah dataran tinggi. Perbedaan geografis ini berpengaruh terhadap kecenderungan orang tua untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian secara perlahan pola pikir anak tentang perlunya pendidikan yang lebih tinggi secara perlahan akan diwariskan pula kepada generasi penerusnya.

Berbagai problem yang muncul di masyarakat tentang lulusan dari lembaga pendidikan terus terjadi. Masalah tersebut, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita.
Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.
Asumsi lain menyebutkan bahwa pola pikir masyarakat akan pendidikan pada awalnya sangat dipengaruhi oleh strata sosial masyarakat itu sendiri. Status sosial dan peran sosial yang berbeda mengakibatkan cara pandang yang berbeda pula terhadap pendidikan.
Berdasarkan pembahasan di atas, dalam makalah ini akan diuraikan Relevansi Pendidikan dengan cara berpikir masyarakat.

1.2.           Rumusan dan Batasan  Masalah
1.2.1.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu :
1.   Sejauh mana pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat dapat mempengaruhi pola pikirnya?
2.   Bagaimanakah pola pikir masyarakat terhadap pendidikan?
3.   Apa relevansinya antara pendidikan terhadap cara berpikir masyarakat?
1.2.2.  Batasan Masalah
Ruang lingkup masalah dalam makalah ini yaitu  
   Sesuai dengan judul Makalah ini yaitu Relevansi Pendidikan dengan cara berpikir masyarakat, maka dalam pembahasannya akan dideskripsikan pola pikir masyarakat terhadap pendidikan ditinjau dari strata sosial, letak geografis masyarakat, serta pandangan tentang relevansi pendidikan dalam membangun masyarakat.

1.3.  Tujuan  Makalah
Tujuan dalam makalah ini, yaitu:
1.  Memberikan gambaran tentang pola pikir masyarakat mengenai pendidikan.
2.  Menjabarkan secara empiris relevansi antara pendidikan dengan pola pikir masyarakat,
3.   Memberikan gambaran tentang pembaharuan paradigma pengelolaan pendidikan berdasarkan kebutuhan masyarakat.